
KARAWANG, KANALKARAWANG.COM – Aksi damai menolak rencana pertambangan di kawasan lindung Karawang Selatan kini berbuntut panjang. Koordinator aksi, Ujang Nur Ali, bersama Kepala Desa Tamansari, Ai Ratnaningsih, dilaporkan PT Jui Shin Indonesia (JSI) ke Mabes Polri dengan tuduhan melakukan tindakan anarkis saat unjuk rasa pada 17 April 2025 di depan pabrik perusahaan tersebut.
Bagi warga, aksi itu bukan sekadar reaksi sesaat. Ujang menegaskan, protes telah dirancang sejak tahun sebelumnya, dimulai dari pengiriman surat kepada Pelaksana Tugas Gubernur Jawa Barat untuk membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Namun, balasan dari DPMPTSP Jawa Barat tertanggal 27 September 2024 menyatakan bahwa izin tersebut sesuai aturan.
Tak menyerah, warga kemudian menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Karawang pada 30 Desember 2024, yang dihadiri OPD terkait, aparat desa, dan Perum Perhutani. Pihak PT Jui Shin yang diundang justru tidak hadir. Dalam forum itu, OPD menegaskan bahwa Pemkab Karawang menolak aktivitas pertambangan di wilayah tersebut.
Ujang menyebut, penolakan warga memiliki pijakan hukum kuat. Ia mencontohkan pembatalan persetujuan lingkungan PT Mas Putih Belitung oleh DPMPTSP Karawang, serta riwayat sengketa hukum perusahaan dengan Pemkab Karawang sejak 2017.
“Pemda Karawang pernah menang di tingkat pengadilan, meski perusahaan menang banding di PTUN Jakarta. Pemda tetap konsisten dan melakukan kasasi hingga izin lingkungan dibatalkan,” jelasnya.
Saat Bupati Karawang menyatakan akan mengevaluasi seluruh perizinan tambang, warga merespons dengan menggelar aksi damai yang melibatkan LSM, ormas, dan tokoh masyarakat.
“Berdasarkan aturan, kawasan itu adalah kawasan lindung. Kami tidak pernah memerintahkan tindakan anarkis. Pesertanya banyak, kami tidak kenal semuanya, tapi evaluasi kami, aksi berjalan damai,” tegas Ujang.
Namun, pada 28 Juli 2025, ia menerima surat panggilan dari Bareskrim Mabes Polri dan ditetapkan sebagai terlapor bersama Kepala Desa Tamansari. Ujang memenuhi panggilan pemeriksaan pada 30 Juli, sedangkan Ai Ratnaningsih pada 4 Agustus.
“Secara psikologis, keluarga saya terpukul. Saat ini kami didampingi empat LBH yang tergabung dalam Tim Advokasi Karawang Selatan,” ungkapnya.
Tokoh masyarakat Karawang Selatan, Ade Witarsa, menilai laporan polisi itu sebagai bentuk kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan. Menurutnya, Karawang Selatan punya nilai strategis baik secara ekologis maupun historis.
“Kawasan ini bukan hanya batu kapur. Ada situs-situs bersejarah yang menjadi identitas warga Karawang. Jika dirusak, kerusakan ekologis akan besar. Karsel itu pakunya alam Karawang,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan bahwa ancaman kekeringan sudah mengintai akibat alih fungsi lahan.
“Cadangan air semakin menipis. Kalau ditambah pertambangan, kita akan menghadapi krisis serius,” kata Ade.
Perwakilan Tim Advokasi Karawang Selatan (Takarst), Dadi Mulyadi, menyebut kasus yang menjerat Ujang sebagai bentuk pembungkaman gerakan rakyat.
“Pejuang lingkungan tidak boleh dipidanakan. Ini jelas kriminalisasi yang bertentangan dengan prinsip negara hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia,” tegasnya.
Takarst menuntut pemerintah pusat dan daerah tegas menolak izin pertambangan PT Mas Putih Belitung dan PT Jui Shin Indonesia. Mereka juga mendesak aparat menghentikan seluruh proses hukum yang bermuatan kriminalisasi.
“Kami akan mengawal sampai rencana tambang dibatalkan dan hak masyarakat dipulihkan sepenuhnya,” tutupnya.
Bagi Takarst, pertambangan di Karawang Selatan bukan hanya urusan penggalian batu kapur, tapi ancaman terhadap kelestarian lingkungan, budaya, dan identitas warga.
“Satu orang dikriminalisasi, akan tumbuh seribu yang melawan,” tandas Dadi.(red)


