Sunday, October 26, 2025
spot_img
HomeOpiniSeptember Hitam Yang Tak Pernah Berlalu: Tragedi 1965, Kematian Munir, Hingga 17+8...

September Hitam Yang Tak Pernah Berlalu: Tragedi 1965, Kematian Munir, Hingga 17+8 Tuntutan Rakyat

- Advertisement -

Oleh: Paing*

Halo, September.

Bulan ketika memori bangsa dipaksa menatap cermin. Dan, seperti biasa, wajah yang kita lihat di sana tetap sama: penuh luka, penuh janji yang diingkari, penuh sejarah yang dibungkam.

Setiap tahun, September datang bukan sekadar angka di kalender. Ia datang dengan bau anyir darah 1965, dengan racun arsenik yang membunuh Munir pada 2004, dan kini dengan teriakan rakyat lewat 17+8 tuntutan rakyat 2025.

Dan lucunya, sejak 1965 sampai hari ini, kita masih menunggu satu hal yang sama: keadilan.

Mari kita mulai dari halaman paling kelam. 30 September 1965.

Sejarah mencatat, entah 500 ribu, entah 1 juta jiwa melayang dalam kekacauan pasca-peristiwa G30S.

Banyak yang dieksekusi tanpa pengadilan, sebagian hilang, sebagian dikurung bertahun-tahun. Dan yang tersisa hidup dengan label “keluarga PKI”, diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Pertanyaannya sederhana: apakah negara sudah minta maaf?

Jawabannya: belum.

Yang ada justru sejarah yang ditulis sepihak, kebenaran yang dikaburkan, dan generasi muda yang diajarkan untuk lupa.

Lupa itu nyaman, memang. Tapi nyaman bagi siapa? Bagi korban, atau bagi mereka yang ingin tangannya tetap bersih di hadapan sejarah?

Loncat ke 7 September 2004.

Munir Said Thalib nama yang masih membuat banyak pejabat gelisah. Aktivis HAM yang gigih membongkar kasus pelanggaran, dari Timor Timur hingga penculikan aktivis 1998.

Munir dibunuh dengan racun arsenik di atas pesawat. Disuntik mati oleh tangan-tangan negara sendiri.

Dua dekade berlalu, tapi kasusnya belum tuntas. Yang dipenjara cuma pion. Otaknya? Hilang di balik rapat-rapat negara.

Ini pesan yang sangat jelas: di Indonesia, membela HAM bisa membuatmu mati. Dan yang membunuhmu bisa duduk manis sambil dapat promosi jabatan.

Ironis? Tidak.

Ini bukan ironi. Ini sistematis.

Dan sekarang, kita ada di September 2025.

Bangsa ini kembali panas. Bukan karena kemarau panjang, tapi karena kesabaran rakyat sudah kering.

Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” lahir sebagai peringatan keras.

Ada 17 tuntutan jangka pendek: stop represifitas aparat, batalkan kenaikan gaji DPR, transparansi dana publik, dan hentikan kriminalisasi aktivis.

Ada pula 8 tuntutan jangka panjang: mulai dari reformasi TNI-Polri, penguatan Komnas HAM, penegakan UU Perampasan Aset, sampai revisi kebijakan ekonomi yang memiskinkan buruh dan petani.

Lebih dari 200 organisasi masyarakat sipil bergabung. Mahasiswa, buruh, petani, aktivis, sampai komunitas digital, semuanya satu suara: cukup sudah!

Tapi apa respons negara?

Gas air mata.

Peluru karet.

Narasi adu domba rakyat.

Dan pejabatnya? Masih sempat joget di panggung hiburan. Negara sibuk selfie, rakyat sibuk mengubur mimpi.

Karawang dan Luka Kolektif

Dari ladang padi yang pernah jadi saksi tragedi 1965, sampai suara buruh di kawasan industri yang menggema hari ini, Karawang ikut berdarah, ikut menjerit, ikut menagih.

Ketika UMK Karawang diperas serendah mungkin sementara pejabat pusat menghitung tunjangannya dengan kalkulator ajaib, kita belajar satu hal: rakyat hanya jadi angka.

Kalau kau petani, buruh, guru honorer, atau nelayan, negara hanya memandangmu sebatas statistik.

Mati satu, diganti satu.

Gagal panen, impor pangan.

Gaji DPR 78 juta per bulan, buruh 3 juta per bulan.

Matematika sederhana yang membuat rakyat jadi bahan bakar, sementara elit menari di atas bara.

Dari darah 1965, racun Munir, sampai 17+8 tuntutan hari ini, semuanya punya benang merah: negara gagal belajar dari luka.

Kita dibiarkan lupa, tapi luka tak pernah hilang.

Kita disuruh diam, tapi suara rakyat makin keras.

Kalau negara masih merasa kebal, dengarkan ini baik-baik:

sejarah tidak pernah memaafkan mereka yang menolak mendengar.

Kita menolak lupa.

Kita menolak diam.

Karena kalau negara terus gagal, rakyat akan terus bersuara.

Dan suara itu, sekali menggema, akan sulit dibungkam  bahkan dengan gas air mata sekalipun.(red)

*Penulis adalah Masyarakat Sipil

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular