Saturday, August 2, 2025
spot_img
HomeOpini"Orang Karawang Nggak Pinter-Pinter": Antara Arogansi Industri dan Kebijakan yang Melempem

“Orang Karawang Nggak Pinter-Pinter”: Antara Arogansi Industri dan Kebijakan yang Melempem

- Advertisement -

Oleh: Fahri Arigi*

Kalimat itu bukan kutipan dari sebuah naskah drama satire. Itu ucapan nyata dan viral yang sontak diucapkan oleh seorang Manajer HRD PT FCC Indonesia saat menghadiri audiensi di Dinas Tenaga Kerja Karawang.

“Aduh susah euy orang Karawang mah diajarinnya, orang Karawang mah nggak pinter-pinter.”

Begitu katanya, dengan nada enteng, seolah tak ada sejarah, etika, atau bahkan kesadaran bahwa yang ia rendahkan adalah masyarakat yang telah memberi tempat bagi perusahaannya bertumbuh.

Masalah ini bermula ketika publik Karawang dikagetkan dengan seleksi tenaga kerja PT FCC yang dilakukan di SMKN 12 Bandung. Bukan di SMK Karawang, bukan lewat job fair Disnaker, bukan juga lewat forum-forum lokal. Di Bandung.

Katanya cuma 13 orang yang lolos ke tahap MCU. Tapi tetap saja, publik merasa dikhianati. Di Karawang, ribuan pencari kerja antre job fair. Tapi lowongan ‘diam-diam’ malah dibuka di kota sebelah.

Alasannya? Karena job fair Karawang penuh. Ya sudah, katanya, pindah ke Bandung. Sesimpel itu logikanya. Karena mencintai Karawang tampaknya memang tak pernah jadi bagian dari SOP perusahaan luar.

Karawang bukan kota main-main dalam urusan industri. Kita bicara kawasan dengan ribuan pabrik, dari otomotif, elektronik, sampai kimia berat. Tapi apa kabar serapan tenaga kerja lokal?

Padahal sejak 2011, Karawang sudah punya Peraturan Daerah (Perda) No. 1 Tahun 2011 yang secara eksplisit menyebut 60 persen tenaga kerja wajib dari Karawang. Bahkan perdanya masih aktif hingga detik ini!

Tapi dari waktu ke waktu, pelanggarannya juga eksplisit. Dan yang lebih tragis, aparaturnya justru implisit dalam menanggapi.

Banyak perusahaan datang dengan semangat investasi, tapi lupa bahwa mereka tak hanya menanam mesin, tapi juga harus menumbuhkan harapan warga.

Kita mungkin bisa memaklumi kesalahan teknis. Tapi ketika seorang manajer HRD secara terang-terangan mengeluarkan pernyataan rasis, sarkastik, dan menghina, maka ini bukan lagi urusan teknis. Ini ideologis.

Apa yang ada di kepala orang seperti itu? Apakah benar ia percaya bahwa orang Karawang tidak bisa diajari? Apakah ia pikir warga lokal hanya layak jadi buruh lapis paling bawah?
Lebih menggelikan lagi, saat ia klarifikasi, katanya:

“Itu video dipotong. Saya tidak bermaksud menyinggung siapa-siapa.”

Ah, tentu saja. Semua video viral pasti ‘dipotong’. Semua kalimat menghina pasti ‘keluar dari konteks’. Dan semua klarifikasi pasti penuh ‘penyesalan’, meski tak ada niat mundur dari jabatan.

Lucu sekali kalau perusahaan menyebut warga Karawang tidak pintar, sementara banyak lulusan SMK dan sarjana lokal yang terpaksa menganggur, bukan karena tak mampu, tapi karena tak diberi kesempatan. Proses seleksi kerja kerap tertutup. Sistem ‘orang dalam’ masih berjaya. Informasi lowongan lebih sering menyebar dari grup WA elit daripada papan pengumuman Disnaker.

Siapa sebenarnya yang “nggak pinter-pinter”?
Yang terus melanggar perda dan mengakali kuota lokal, atau yang terus bertahan hidup di tengah sistem kerja yang tak berpihak?

Ucapan satu HRD memang tak mewakili semuanya. Tapi jika dibiarkan, maka ia bisa jadi standar baru yang membahayakan. Kita tak ingin generasi muda Karawang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka selalu “kurang pintar” di mata orang luar.

Sebab yang harusnya malu bukan mereka yang masih belajar, tapi mereka yang sudah senior tapi tak tahu sopan santun dan tak kenal sejarah.

Jumat kemarin (25/7/2025), Rapat Dengar Pendapat (RDP) pun digelar. Lengkap! Ada Ketua DPRD, Komisi IV, Disnakertrans, Satpol PP, pihak perusahaan, dan tentu saja: kamera media. Sebuah pemandangan langka yang hanya muncul kalau publik sudah ngamuk. Selebihnya? Ya, paling juga pada sibuk tanda tangan daftar hadir sambil ngopi.

Ketua DPRD bilang, “Kami tidak menutup, hanya 60 persen yang kami minta.” Terharu banget. Sudah puluhan tahun industri tumbuh di Karawang, tapi ‘permintaan’ 60 persen itu ternyata cuma jargon, bukan kewajiban. Hukum di sini rupanya bersifat opsional: boleh ditaati, boleh juga diabaikan asal belum viral.

Disnakertrans pun ikut angkat suara: “Kami selalu mengingatkan perusahaan.” Wah, hebat. Jadi sekarang fungsi pemerintah adalah jadi tim pengingat? Bukan penegak perda? Kapan terakhir ada perusahaan kena sanksi karena melanggar kuota tenaga kerja lokal? Atau jangan-jangan, sanksi itu cuma mitos?

Dan mari kita beri standing applause untuk PT FCC. Setelah pernyataan diskriminatif HRD-nya viral, mereka buru-buru klarifikasi: “Itu video dipotong-potong.” Iya, pasti. Salah videonya. Salah netizennya. Salah semuanya asal jangan salah mulut. Klarifikasi klasik tanpa rasa tanggung jawab, tanpa itikad perbaikan. Kalau warga Karawang tersinggung? Ya, suruh aja sabar. Kan biasa dihina di tanah sendiri.

Yang lebih ajaib, mereka janji akan rekrut 70% orang Karawang. Wow! Langsung naik 10% hanya karena netizen marah. Bayangkan kalau video itu diedit lebih dramatis, mungkin bisa dapat 100%. Rupanya, strategi rekrutmen di Karawang sekarang cukup dengan menciptakan kontroversi, tunggu ramai, baru perusahaan “berbesar hati”.

Tapi yang paling menyayat, tetap ini: anak-anak Karawang hanya diminta bersaing, tapi tidak pernah diberi peluang. Dibilang tak kompeten, padahal pelatihan minim. Dibilang tak layak, padahal akses tertutup. Dianggap tak pintar, padahal belum pernah benar-benar diuji karena sistemnya terlalu sibuk memelihara nepotisme dan kekerabatan dalam perekrutan.

Pertanyaannya: ke mana DPRD dan Disnakertrans sebelum semua ini meledak? Kalau mereka baru bekerja setelah disorot kamera, maka yang kita butuhkan bukan lagi perwakilan rakyat, tapi content creator pengawas industri. Biar semua pelanggaran bisa tayang dulu sebelum ditindak.

Selama regulasi cuma jadi slogan, dan pengawasan hanya aktif setelah viral, maka anak-anak Karawang akan terus jadi penonton di kampungnya sendiri sambil sesekali diminta maklum kalau “belum cukup kompeten.”(red)

*Penulis adalah Masyarakat Sipil Karawang.

RELATED ARTICLES

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

- Advertisment -

Most Popular